Hikmah Surga

Hikmah surga ini berisi sekilas tentang beberapa artikel ilmiah pribadi sebaagai wujud pengembangan diri dan aktualisasi diri pada bidang pendidikan

Minggu, 15 Juni 2008

Hadits Dhoif

PENDAPAT BEBERAPA ULAMA TENTANG HADITS-HADITS DHAIF UNTUK FADHAAILUL A'MAAL [KEUTAMAAN AMAL]
Di kalangan ulama, ustadz dan kyai sudah tersebar bahwa hadits-hadits dha’if boleh dipakai untuk fadhaa-ilul a’maal. Mereka menyangka tentang bolehnya itu tidak ada khilaf di antara ulama. Mereka berpegang kepada perka-taan Imam an-Nawawi yang menyatakan bahwa bolehnya hal itu sudah disepakati oleh ahli ilmu.Apa yang dinyatakan Imam an-Nawawi rahimahullah tentang adanya kesepakatan ulama yang membolehkan memakai hadits dha’if untuk fadhaa-ilul a’maal ini merupakan satu kekeliruan yang nyata. Sebab, ada ulama yang tidak sepakat dan tidak setuju digunakannya hadits dha’if untuk fadhaa-ilul a’maal. Ada beberapa pakar hadits dan ulama-ulama ahli tahqiq yang berpendapat bahwa hadits dha’if tidak boleh dipakai secara mutlak, baik hal itu dalam masalah ahkam (hukum-hukum) maupun fadha-il.[a]. Syaikh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi menyebutkan dalam kitabnya, Qawaaidut Tahdits: “Hadits-hadits dha’if tidak bisa dipakai secara mutlak untuk ahkaam maupun untuk fadhaa-ilul a’maal, hal ini disebutkan oleh Ibnu Sayyidin Nas dalam kitabnya, ‘Uyunul Atsar, dari Yahya bin Ma’in dan disebutkan juga di dalam kitab Fat-hul Mughits. Ulama yang berpendapat demikian adalah Abu Bakar Ibnul Araby, Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan Imam Ibnu Hazm. [Qawaaidut Tahdits min Fununi Musthalahil Hadits, hal. 113, tahqiq: Muhammad Bahjah al-Baithar][b]. Menurut Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany rahimahullah (Ahli Hadits zaman sekarang ini), ia berpendapat: “Pendapat Imam al-Bukhari inilah yang benar dan aku tidak meragukan tentang kebenarannya.” [Tamaamul Minnah fii Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah hal. 34, cet. Daarur Rayah, th. 1409 H]Menurut para ulama, hadits dha’if tidak boleh diamalkan, karena: Pertama.Hadits dha’if hanyalah mendatangkan sangkaan yang sangat lemah, orang mengamalkan sesuatu dengan prasangka, bukan sesuatu yang pasti diyakini.Firman Allah:“Artinya : Sesungguhnya sangka-sangka itu sedikit pun tidak bisa mengalahkan kebenaran.” [Yunus: 36]Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:"Artinya : Jöauhkanlah dirimu dari sangka-sangka, karena sesungguhnya sangka-sangka itu sedusta-dusta perkataan.” [HR. Al-Bukhari (no. 5143, 6066) dan Muslim (no. 2563) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]Kedua.Kata-kata fadhaa-ilul a’maal menunjukkan bahwa amal-amal tersebut harus sudah ada nashnya yang shahih. Adapun hadits dha’if itu sekedar penambah semangat (targhib), atau untuk mengancam (tarhiib) dari amalan yang sudah diperintahkan atau dilarang dalam hadits atau riwayat yang shahih. Ketiga.Hadits dha’if itu masih meragukan, apakah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau bukan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:"Artinya Tinggalkanlah apa-apa yang meragukan kamu (menuju) kepada yang tidak meragukan.” [HR. Ahmad (I/200), at-Tirmidzi (no. 2518) dan an-Nasa-i (VIII/327-328), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir (no. 2708, 2711), dan at-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih.”]Keempat.Penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang perkataan Imam Ahmad, “Apabila kami meriwayatkan masalah yang halal dan haram, kami sangat keras (harus hadits yang shahih), tetapi apabila kami meriwayatkan masalah fadhaa-il, targhiib wat tarhiib, kami tasaahul (bermudah-mudah).” Kata Syaikhul Islam: “Maksud perkataan ini bukanlah menyunnahkan suatu amalan dengan hadits dha’if yang tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, karena masalah sunnah adalah masalah syar’i, maka yang harus dipakai pun haruslah dalil syar’i. Barangsiapa yang mengabarkan bahwa Allah cinta pada suatu amalan, tetapi dia tidak bawakan dalil syar’i (hadits yang shahih), maka sesungguhnya dia telah mengadakan syari’at yang tidak diizinkan oleh Allah, sebagaimana dia menetapkan hukum wajib dan haram.[ Majmuu’ Fataawaa, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XVIII/65).]Kelima.Syaikh Ahmad Muhammad Syakir menerangkan tentang maksud perkataan Imam Ahmad, Abdurahman bin Mahdi dan ‘Abdullah Ibnul Mubarak tersebut, beliau berkata, “Bahwa yang dimaksud tasaahul (bermudah-mudah) di sini ialah mereka mengambil hadits-hadits hasan yang tidak sampai ke derajat shahih untuk masalah fadhaa-il. Karena istilah untuk membedakan antara hadits shahih dengan hadits hasan belum terkenal pada masa itu. Bahkan kebanyakan dari ulama mutaqadimin (ulama terdahulu) hanyalah membagi derajat hadits itu kepada shahih atau dha’if saja. (Sedang yang dimaksud dha’if itu sebagiannya adalah hadits hasan yang bisa dipakai untuk fadhaa-ilul a’maal-pen). [Baaitsul Hatsits Syarah Ikhtishaar Uluumil Hadiits, oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir (hal 87), cet. III Maktabah Daarut Turats, th. 1979 M/1399 H atau cet. I Daarul ‘Ashimah, ta’liq: Syaikh al-Albany]Sebagai tambahan dan penguat pendapat ulama yang tidak membolehkan dipakainya hadits dha’if untuk fadhaa-ilul a’maal. Saya bawakan pendapat Dr. Subhi Shalih, ia berkata: “Menurut pendapat agama yang tidak diragukan lagi bahwa riwayat lemah tidak mungkin untuk dijadikan sumber dalam masalah ahkam syar’i dan tidak juga untuk fadhilah akhlaq (targhib wat tarhib), karena sesungguhnya zhan atau persangkaan tidak bisa mengalahkan yang haq sedikit pun. Dalam masalah fadhaa'il sama seperti ahkam, ia termasuk pondasi agama yang pokok, dan tidak boleh sama sekali bangunan pondasi ini lemah yang berada di tepi jurang yang dalam. Oleh karena itu, kita tidak bisa selamat bila kita meriwayatkan hadits-hadits dha’if untuk fadhaa-ilul a’maal, meskipun sudah disebutkan syarat-syaratnya.” [ Lihat Uluumul Hadiits wa Musthalaahuhu (hal. 211), oleh Dr. Subhi Shalih, cet. 1982 M]SYARAT-SYARAT DITERIMANYA HADITS DHA'IF UNTUK FADHAA-ILUL A'MAALDi atas sudah saya kemukakan bahwa pendapat yang terkuat adalah pendapat Imam al-Bukhari, Muslim dan Ibnu Hazm tentang tidak diterimanya hadits dha’if untuk fadhaa-ilul a’maal. Akan tetapi tentunya sejak dulu sampai hari ini masih saja ada ulama yang memakainya. Oleh karena itu, saya bawakan pendapat al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany tentang syarat-syarat diterimanya hadits dha’if untuk fadhaa-ilul a’maal, beliau berkata: “Sudah masyhur di kalangan ulama bahwa ada di antara mereka orang-orang yang tasaahul (bermudah-mudah/menggampang-gampangkan) dalam membawakan hadits-hadits fadhaa-il kendatipun banyak di antaranya yang dha’if bahkan ada yang maudhu’ (palsu). Oleh karena itu wajiblah atas ulama untuk mengetahui syarat-syarat dibolehkannya beramal dengan hadits dha’if, yaitu ia (ulama) harus meyakini bahwa itu dha’if dan tidak boleh dimasyhurkan agar orang tidak mengamalkannya yakni tidak menjadikan hadits dha’if itu syari’at atau mungkin akan disangka oleh orang-orang jahil bahwa hadits dha’if itu mempunyai Sunnah (untuk diamalkan).” [Tamaamul Minnah hal. 36.]Syaikh Muhammad bin Abdis Salam telah menjelaskan hal ini dan hendaklah seseorang berhati-hati terkena ancaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (hadits Samurah di atas). Bila sudah ada ancaman ini bagaimana mungkin kita akan mengamalkan hadits dha’if?Dalam hal ini (ancaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) terkena bagi orang yang mengamalkan hadits dha’if dalam masalah ahkam (hukum-hukum) ataupun fadhaa-ilul a’maal, karena semua ini termasuk syari’at. [Tabyiinul A’jab (hal. 3-4) dinukil oleh Syaikh al-Albany dalam Tamamul Minnah (hal. 36)]Al-Hafizh as-Sakhawy, murid al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany t, beliau berkata: “Aku sering mendengar syaikhku (Ibnu Hajar) berkata: “Syarat-syarat bolehnya beramal dengan hadits dha’if:[1]. Hadits itu tidak sangat lemah. Maksudnya, tidak boleh ada rawi pendusta, atau dituduh berdusta atau hal-hal yang sangat berat kekeliruannya.[2]. Tidak boleh hadits dha’if jadi pokok, tetapi dia harus berada di bawah nash yang sudah shahih.[3]. Tidak boleh hadits itu dimasyhurkan, yang akan ber-akibat orang menyandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apa-apa yang tidak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan.”Imam as-Sakhawi berkata: “Syarat-syarat kedua dan ketiga dari Ibnu Abdis Salam dan dari shahabatnya Ibnu Daqiqiil ‘Ied.” Imam ‘Alaiy berkata: “Syarat pertama sudah disepakati oleh para ulama hadits.” [ Lihat al-Qaulu Badi’ fii Fadhlish Shalah ‘alal Habibisy Syafi’i (hal. 255), oleh al-Hafizh as-Sakhawi, cet. Daarul Bayan Lit Turats]Bila kita perhatikan syarat pertama saja, maka kewa-jiban bagi ulama dan orang yang mengerti hadits, untuk menjelaskan kepada ummat Islam dua hal yang penting:Pertama.Mereka harus dapat membedakan hadits-hadits dha’if dan yang shahih agar orang-orang yang menga-malkannya tidak meyakini bahwa itu shahih, hingga mereka tidak terjatuh ke dalam bahaya dusta atas nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kedua.Mereka harus dapat membedakan hadits-hadits yang sangat lemah dengan hadits-hadits yang tidak sangat lemah.Bagi para ulama, ustadz, dan kyai yang masih bersikeras bertahan untuk tetap memakai hadits-hadits dha’if untuk fadhaaa-ilul a’maal, saya ingin ajukan pertanyaan untuk mereka: “Sanggupkah mereka memenuhi syarat pertama, kedua dan ketiga itu?” Bila tidak, jangan mereka mengamalkannya. Kemudian apa sulitnya bagi mereka untuk mengambil dan membawakan hadits-hadits yang shahih saja yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dan kitab-kitab hadits lainnya. Apalagi sekarang -alhamdulillah- Allah sudah mudahkan adanya kitab-kitab hadits yang sudah dipilah-pilah antara yang shahih dan yang dha’if. Dan kita berusaha untuk memiliki kitab-kitab itu, sehingga dapat membaca, memahami, mengamalkan dan menyampaikan yang benar kepada ummat Islam.[Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]


tentang-pernikahan.com - PERTANYAANSaya sering membaca buku-buku Ustadz dan mendengarceramah-ceramah Ustadz yang menyeru kepada kaidah yangberbunyi: "Kita bantu-membantu (bertolong-tolongan) dalammasalah yang kita sepakati, dan bersikap toleran dalammasalah yang kita perselisihkan."Siapakah yang mencetuskan ungkapan seperti itu? Apakah iamempunyai dalil syara'? Bagaimana kita harus bantu-membantudengan ahli-ahli bid'ah dan para penyeleweng? Dan bagaimanakita harus toleran dengan orang yang menyelisihi kita danbahkan menyelisihi nash Al-Qur'an dan As-Sunnah?Bukankah kita dituntut untuk mengingkari dan menjauhinya,dan sebaliknya tidak bersikap toleran kepadanya? BukankahAntara lain Qur'an mengatakan (yang artinya): "... jika kamuberlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah iakepada Allah dan Rasul" (an-Nisa': 59)? Mengapa kita tidakmengembalikannya saja kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah, danbukan malah menolerirnya? Adakah toleransi bagi si penentangnash?Terus terang, masalah ini masih samar bagi kami. Karena itukami membutuhkan penjelasan Ustadz, terutama dalil-dalilnya.Kami yakin Ustadz mempunyai keahlian mengenai masalah inisesuai dengan apa yang diberikan Allah kepada Ustadz. SemogaAllah memberi Ustadz pahala.JAWABANYang membuat kaidah atau ungkapan. Kita bantu-membantu(tolong-menolong) mengenai apa yang kita sepakati danbersikap toleran dalam masalah yang kita perselisihkantadalah al-Allamah Sayyid Rasyid Ridha rahimahullah, pemimpinmadrasah Salafiyyah al-Haditsah, pemimpin majalah al-Manaral-Islamiyyah yang terkenal itu, pengarang tafsir,fatwa-fatwa, risalah-risalah, dan kitab-kitab yang mempunyaipengaruh besar terhadap dunia Islam. Sebelum ini, beliautelah mencetuskan kaidah al-Manar adz-Dzahabiyyah yangmaksudnya ialah "tolong-menolong sesama ahli kiblat" secarakeseluruhan dalam menghadapi musuh-musuh Islam.Beliau mencetuskan kaidah tersebut tidak sembarang, tetapiberdasarkan petunjuk Al-Qur'an, As-Sunnah, bimbingan salafsalih, karena kondisi dan situasi, dan karena kebutuhan umatIslam untuk saling mendukung dan membantu dalam menghadapimusuh mereka yang banyak. Meskipun diantara mereka terjadiperselisihan dalam banyak hal, tetapi mereka bersatu dalammenghadapi musuh. Inilah yang diperingatkan dengan kerasoleh Al-Qur'an, yaitu: orang-orang kafir tolong-menolongantara sesama mereka, sementara orang-orang Islam tidak mausaling menolong antara sesamanya. Allah berfirman"Adapun orang-orang kafir, sebagian mereka menjadi pelindungbagõ sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidakmelaksanakan apa yang diperintahkan Allah itu, niscaya akanterjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar."(al Anfal 73)Makna illaa taf'aluuhu (jika kamu tidak melaksanakan apayang telah diperintahkan Allah itu) ialah: jika kamu tidaksaling melindungi dan saling membantu antara sebagian dengansebagian lain sebagaimana yang dilakukan orang-orang kafir.Jika itu tidak dilakukan, niscaya akan terjadi kekacauan dankerusakan yang besar di muka bumi. Sebab, orang-orang kafiritu mempunyai sikap saling membantu, saling mendukung, dansaling melindungi yang sangat kuat diantara sesama mereka,terutama dalam menghadapi kaum muslimin yang berpecah-pecahdan saling merendahkan sesamanya.Karena itu, tidak ada cara lain bagi orang yang hendakmemperbaiki Islam kecuali menyeru umat Islam untuk bersatupadu dan tolong-menolong dalam menghadapi kekuatan-kekuatanmusuh Islam.Apakah cendekiawan muslim yang melihat kerja sama danpersekongkolan Yahudi internasional, misionaris Barat,komunis dunia, dan keberhalaan Timur di luar dunia Islam,dapat merajut kelompok-kelompok dalam dunia Islam yangmenyempal dari umat Islam? Mampukah mereka menyeru ahlikiblat untuk bersatu dalam satu barisan guna menghadapikekuatan musuh yang memiliki senjata, kekayaan, strategi,dan program untuk menghancurkan umat Islam, baik secaramaterial maupun spiritual?Begitulah, para muslih menyambut baik kaidah ini danantusias untuk melaksanakannya. Yang paling mencolok untukmerealisasikan hal itu ialah al-Imam asy-Syahid Hasanal-Bana, sehingga banyak orang al-Ikhwan yang mengira bahwabeliaulah yang menelorkan kaidah ini.Adapun masalah bagaimana kita akan tolong-menolong denganahli-ahli bid'ah dan para penyeleweng, maka sudah dikenalbahwa bid'ah itu bermacam-macam dan bertingkat-tingkat. Adabid'ah yang berat dan ada yang ringan, ada bid'ah yangmenjadikan pelakunya kafir dan ada pula bid'ah yang tidaksampai mengeluarkan pelakunya dari agama Islam, meskipunkita menghukuminya bid'ah dan menyimpang.Tidak ada larangan bagi kita untuk bantu-membantu danbekerja sama dengan sebagian ahli bid'ah dalam hal-hal yangkita sepakati dari pokok-pokok agama dan kepentingan dunia,dalam menghadapi orang yang lebih berat bid'ahnya atau lebihjauh kesesatan dan penyimpangannya, sesuai dengan kaidah:"Irtikaabu akhaffidh dhararain" (memilih/melaksanakan yanglebih ringan mudaratnya).Bukan hanya bid'ah, kafir pun bertingkat-tingkat, sehinggaada kekafiran dibawah kekafiran, sebagaimana pendapat yangdiriwayatkan dari para sahabat dan tabi'in. Dalam hal initidak ada larangan untuk bekerja sama dengan ahli kafir yanglebih kecil kekafirannya demi menolak bahaya kekafiran yanglebih besar. Bahkan kadang-kadang kita perlu bekerja samadengan sebagian orang kafir dan musyrik - meskipun kekafirandan kemusyrikannya sudah nyata - demi menolak kekafiran yanglebih besar atau kekafirannya sangat membahayakan umatIslam.Dalam permulaan surat ar-Rum dan sababun-nuzul-nyadiindikasikan bahwa Al-Qur'an menganggap kaum Nashara -meskipun mereka juga kafir menurut pandangannya (Al-Qur'an)- lebih dekat kepada kaum muslim daripada kaum Majusipenyembah api. Karena itu, kaum muslim merasa sedih ketikamelihat kemenangan bangsa Persia yang majusi terhadap bangsaRum Byzantium yang Nashara. Adapun kaum musyrik bersikapsebaliknya, karena mereka melihat kaum majusi lebih dekatkepada aqidah mereka yang menyembah berhala.Ketika itu turunlah Al-Qur'an yang memberikan kabar gembirakepada kaum muslim bahwa kondisi ini akan berubah, dankemenangan akan diraih bangsa Rum dalam beberapa tahunmendatang:"... Dan pada hari (kemenangan bangsa Rumawi) itubergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolonganAllah ..." (ar-Rum: 4-5)Secara lebih lengkap Al-Qur'an mengatakan:"Alif laam miim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi di negeriyang terdekat Dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang,dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allah-lah urusan sebelum dansesudah (mereka menang). Dan pada hari (kemenangan bangsaRumawi) itu bergembiralah orang-orang yang benman, karenapertolongan Allah. Dia menolong siapa yangdikehe ndaki-Nya.Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang." (ar-Rum:1-5)Nabi saw. pernah meminta bantuan kepada sebagian kaummusyrik Quraisy setelah Fathu Makkah, dalam menghadapimusyrikin Hawazin, meskipun derajat kemusyrikan mereka sama.Hal itu beliau lakukan karena menurut pandangan beliau bahwakaum musyrik Quraisy mempunyai hubungan nasab yang khususdengan beliau. Disamping itu, suku Quraisy termasuk sukuyang mendapat tempat terhormat di kalangan masyarakat,sehingga Shafwan bin Umayyah sebelum masuk Islam pernahmengatakan, "Sungguh saya lebih baik dihormati oleh seorangQuraisy daripada dihormati oleh seorang Hawazin."Bagi Ahlus-Sunnah - meski bagaimanapun mereka membid'ahkangolongan Muktazilah - tidak ada alasan untuk tidakmemanfaatkan ilmu dan produk pemikiran golongan Muktazilahdalam beberapa hal yang mereka sepakati, sebagaimana tidakterhalangnya mereka untuk menolak pendapat Muktazilah yangmereka pandang bertentangan dengan kebenaran dan menyimpangdari Sunnah.Contoh yang paling jelas ialah kitab Tafsir al-Kasysyafkarya al-Allamah az-Zamakhsyari, seorang Muktazilah yangterkenal. Dapat dikatakan hampir tidak ada seorang alim pun(dari kalangan Ahlus Sunnah) - yang menaruh perhatianterhadap Al-Qur'an dan tafsirnya - yang tidak menggunakanrujukan Tafsir al-Kasysyaf ini, sebagaimana tampak dalamtafsir ar-Razi, an-Nasafi, an-Nisaburi, al-Baidhawi, AbiSu'ud, al-Alusi, dan lainnya.Begitu pentingnya Tafsir al-Kasysyaf ini (bagi Ahlus-Sunnah)sehingga kita dapati orang-orang seperti al-Hafizh IbnuHajar mentakhrij hadits-haditsnya dalam kitab beliau yangberjudul Al-Kaafil asy-Syaaf fi Takhriji Ahaadiitsal-Kasysyaaf. Kita jumpai pula al-Allamah Ibnul Munir yangmenyusun kitab untuk mengomentari al-Kasysyaf ini, khususnyamengenai masalah-masalah yang diperselisihkan dengan judulal-Intishaaf min al-Kasysyaaf.Imam Abu Hamid al-Ghazali, ketika menyerang ahli-ahlifilsafat yang perkataan-perkataannya menjadi fitnah bagibanyak orang, pernah meminta bantuan kepada semua firqahIslam yang tidak sampai derajat kafir. Karena itu, beliautidak menganggap sebagai halangan untuk menggunakan produkdan pola pikir Muktazilah dan lainnya yang sekiranya dapatdigunakan untuk menggugurkan pendapat/perkataan ahli-ahlifilsafat tersebut. Dan mengenai hal ini beliau berkata dalammukadimah Tahafut al-Falasifah sebagai berikut:"Hendaklah diketabui bahwa yang dimaksud ialah memberiperingatan kepada orang yang menganggap baik terhadapahli-ahli filsafat dan mengira bahwa jalan hidup mereka itubersih dari pertentangan, dengan menjelaskan bentuk-bentukkesemerawutan (kerancuan) mereka. Karena itu, saya tidakmencampuri mereka untuk menuntut dan mengingkari, bukanmenyerukan dan menetapkan perkataan mereka. Maka sayajelekkan keyakinan mereka dan saya tempatkan mereka denganposisi yang berbeda-beda. Sekali waktu saya nyatakan merekabermazhab Muktazilah, pada kali lain bermazhab Karamiyah,dan pada kali lain lagi bermazhab Waqifiyah. Saya tidakmenetapkannya pada mazhab yang khusus, bahkan saya anggapsemua firqah bersekutu untuk menentangnya, karena semuafirqah itu kadang-kadang bertentangan dengan paham kitadalam masalah-masalah tafshil (perincian, cabang), sedangkanmereka menentang ushuluddin (pokok-pokok agama). Karena itu,hendaklah kita menentang mereka. Dan ketika menghadapimasalah-masalah berat, hilanglah kedengkian diantara sesama(dalam masalah-masalah kecil/cabang)."Saudara penanya berkata, "Bagaimana kita bersikap tolerankepada orang yang menentang kita, yang nyata-nyatamenyelisihi nash Al-Qur'an atau hadits Nabawi, sedangkanAllah berfirman:"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, makakembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul(As-Sunnah)." (an-Nisa': 59)Menurut saya (Qardhawi), saudara penanya ini tidakmengetahui suatu perkara yang penting, yaitu bahwa nash-nashitu mempunyai perbedaan besar dilihat dari segi tsubut(periwayatan) dan dilalah (petunjuk)-nya, yaitu ada yangqath'i dan ada yang zhanni. Diantara nash-nash itu ada yangqath'i tsubut seperti Al-Qur'an al-Karim dan hadits-haditsmutawatir yang sedikit jumlahnya itu. Sebagian ulamamenambahkannya dengan hadits-hadits Shahihain yang telahditerima umat Islam dan disambut oleh generasi yangberbeda-beda sehingga melahirkan ilmu yang meyakinkan.Tetapi sebagian ulama lagi menentangnya, dan masing-masingmempunyai alasan:Disamping itu, ada nash yang zhanni tsubut. Misalnya,hadits-hadits umumnya, baik yang sahih maupun hasan yangdiriwayatkan dalam kitab-kitab sunan, musnad, mu'jam, danmushannaf yang bermacam-macam.Pada taraf zhanniyyah ini derajat hadits itu bermacam-macam.Ada yang sahih, hasan, shahih lidzatihi dan hasan lidzatihi,serta ada pula yang shahih lighairihi dan hasan lighairihi,sesuai dengan sikap imam-imam dalam mensyaratkan penerimaandan pentashihan suatu hadits, ditinjau dari segi sanad ataumatan, atau keduanya. Karena itu, ada orang yang menerimahadits mursal dan menjadikannya hujjah, ada yang menerimanyadengan syarat-syarat tertentu, dan ada yang menolaknyasecara mutlak.Kadang-kadang ada yang menganggap seorang rawi itu dapatdipercaya, tetapi yang lain menganggapnya dhaif. Ada pulayang menentukan beberapa syarat khusus dalam tema-tematertentu yang dianggap memerlukan banyak jalanperiwayatannya, sehingga ia tidak menganggap cukup bilahanya diriwayatkan oleh satu orang. Hal ini menyebabkansebagian imam menerima sebagian hadits dan melahirkanbeberapa hukum daripadanya, sedangkan imam yang lainmenolaknya karena dianggapnya tidak sah dan tidak memenuhisyarat sebagai hadits sahih. Atau ada alasan lain yang lebihkuat yang menentangnya, seperti praktik-praktik yangbertentangan dengannya.Masalah di atas banyak contohnya dan sudah diketahui olehorang-orang yang mengkaji hadits-hadits ahkam, fiqih muqaran(perbandingan), dan flqih mazhabi. Mereka menulisnya dalamkitab-kitab mereka yang disertai dengan dalil-dalil untukmemperkuat mazhabnya dan menolak mazhab/orang yangbertentangan dengannya.Sebagaimana perbedaan nash dari segi tsubut-nya, makaperbedaan nash dari segi dilalah lebih banyak lagi.Diantara nash-nash itu ada yang qath'i dilalahnya atashukum, yang tidak rnengandung kemungkinan lain dalammemahami dan menafsirkannya. Contohnya, dilalah nash yangmemerintahkan shalat, zakat, puasa, serta haji (yangmenunjukkan wajibnya); dilalah nash yang melarang zina,riba, minum khamar, dan lain-lainnya (yang menunjukkankeharamannya), dan dilalah nash-nash al-Qur'an dalampembagian waris. Tetapi nash yang qath'i dilalahnya inijumlahnya sedikit sekali.Kemudian ada pula nash-nash yang zhanni dilalahnya, yaknimengandung banyak kemungkinan pengertian dalam memahami danmenafsirkannya.Karena itu, ada sebagian ulama yang memahami suatu nashsebagai 'aam (umum), sedangkan yang lain menganggapnyamakhsus (khusus). Yang sebagian menganggapnya mutlak, yanglain muqayyad. Yang sebagian menganggapnya hakiki, yang lainmajazi. Yang sebagian menganggapnya mahkam (diberlakukanhukumnya), yang lain mansukh. Yang sebagian menganggapnyawajib, yang lain tidak lebih dari mustahab. Atau yangsebagian menganggap nash itu menunjukkan hukum haram, yanglain tidak lebih dari makruh.Adapun kaidah-kaidah ushuliyyah yang kadang-kadang olehsebagian orang dikira sudah mencukupi untuk menjadi tempatkembalinya segala persoalan, hingga setiap perbedaan dapatdiselesaikan dan setiap perselisihan dapat diputuskan,ternyata dari beberapa segi masih diperselisihkan. Ada yangmenetapkannya, ada yang menafikannya, dan ada yang memilihdiantara yang mutlak dan muqayyad.Misalnya saja dilalah amr (petunjuk perintah). Apakah sighatamr (perintah) itu menunjukkan wajib? Atau mustahab? Atauboleh jadi wajib dan boleh jadi mustahab? Atau tidakmenunjukkan suatu hukum pun kecuali jika disertai denganqarinah (indikasi) tertentu? Atau apakah hukum perintahdalam Al-Qur'an dan As-Sunnah itu berbeda?Kurang lebih, ada tujuh pendapat mengenai dilalah amr yangdikemukakan oleh para ahli ushul fiqih, yang masing-masingmempunyai dalil dan argumentasi.Misalnya mengenai hadits:"Cukurlah kumis dan peliharalah jenggot." (HR Bukhari)"Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak maumenyemir rambut, karena itu berbedalah kamu dengan mereka."(HR Bukhari)"Barangsiapa yang mempunyai kelebihan tempat kendaraan, makahendaklah ia memberikannya kepada orang yang tidak mempunyaikendaraan.""Sebutlah nama Allah, dan makanlah dengan tangan kananmu,dan makanlah dari apa yang dekat denganmu." (HR Bukhari)Apakah perintah-perintah dalam hadits di atas menunjukkanhukum wajib, mustahab, atau untuk membimbing saja? Ataumasing-masing perintah mempunyai hukum tersendiri sesuaidengan petunjuk susunan kalimat dan indikasinya?Demikian pula tentang dilalah nahyu (larangan). Apakahlarangan itu menunjukkan hukum haram, makruh, atau mungkinharam dan mungkin makruh, atau tidak menunjukkan suatu hukumkecuali jika disertai dengan qarinah khusus? Atau apakahhukum yang dimunculkan oleh larangan dalam Al-Qur'an danAs-Sunnah itu berbeda?Dalam masalah ini juga ada tujuh pendapat sebagaimana yangdimuat dalam kitab-kitab ushul fiqih.Disamping itu, juga terdapat perbedaan pendapat mengenai'aam dan khash, mutlaq dan muqayyad, mantuq dan mafhum,muhkam dan mansukh, dan sebagainya.Karena itu, kadang-kadang ada masalah yang dari segi prinsiptelah disepakati, tetapi dari segi pelaksanaandiperselisihkan. Kadang-kadang keduanya telah sepakattentang boleh dan adanya nasakh, namun berbeda pendapatdalam nash tertentu. Apakah dia mansukh atau tidak?Contohnya, hadits: "Telah berbuka orang yang membekam danyang dibekam"1 dan hadits tentang jatuhnya talak tiga yangdiucapkan sekaligus dengan dihitung sebagai talak satu sajapada zaman Rasulullah saw., Abu Bakar, dan pada permulaankekuasaan Umar.Kadang-kadang kedua belah pihak telah sepakat bahwa adasebagian perkataan dan perbuatan dari Nabi saw. dalamkapasitasnya sebagai imam dan pemimpin umat yang tidaktermasuk tasyri' umum yang abadi bagi umat, tetapi keduapihak berbeda pendapat mengenai perkataan atau perbuatantertentu, apakah termasuk kedalam bab ini ataukah tidak.Misalnya apa yang disebutkan Imam al-Qarafi dalam kitabnyaAl-Faruq dan Al-Ahkam mengenai sabda Nabi saw.:"Barangsiapa membunuh seseorang (kafir), maka ia berhak atasbarangnya (pakaiannya, senjatanya, kendaraannya).""Barangsiapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka tanahitu untuknya."Apakah datangnya hadits ini sebagai tabligh dari Allahsehingga ia merupakan tasyri' umum yang abadi? Ataukahdatang dari beliau saw. dalam kapasitasnya sebagai pemimpinumat dan kepala negara serta sebagai panglima tertinggidalam peperangan, sehingga hukum yang dikandungnya tidakdapat dilaksanakan kecuali jika ada ketetapan dari panglimaatau penguasa?Para fuqaha berbeda pendapat tentang mekanismenya, karenaitu mereka juga berbeda pendapat mengenai hukumnya.Adakalanya kedua pihak sepakat bahwa diantara sabda dantindakan Rasulullah saw. itu ada yang tidak termasuk babtasyri' agama yang bersifat ta'abbudi, melainkan merupakanurusan dunia yang diserahkan kepada kemampuan dan usahamanusia. Misalnya, sabda beliau yang diriwayatkan dalamkitab ash-Shahih:"Kamu lebih mengerti tentang urusan duniamu."Namun, mereka berbeda pendapat tentang perkataan dantindakan tertentu, apakah ia termasuk urusan dunia yang kitatidak diwajibkan mengikutinya, ataukah termasuk urusan agamayang kita tidak boleh keluar daripadanya. Misalnya, yangberkenaan dengan beberapa masalah medis yang disebutkandalam beberapa hadits, yang oleh Imam ad-Dahlawi dianggapsebagai urusan dunia, sementara oleh yang lain dianggapnyasebagai urusan agama dan syara' yang wajib dipatuhi.Ada pula sebab terpenting yang memicu terjadinya perbedaanpendapat dalam menafsirkan dan memahami nash, yaituperbedaan antara madrasah "azh-Zhawahir" dan madrasah"al-Maqashid," yakni lembaga pendidikan yang berpegang padazhahir nash dan terikat dengan bunyi teks dalam memahaminya,serta lembaga pendidikan yang mementingkan kandungan nash,jiwa, dan maksud/tujuannya. Begitu pentingnya maka sehinggakadang-kadang ia keluar dari zhahir dan harfiyah nash, demimewujudkan apa yang dipandangnya sebagai maksud dan tujuannash.Kedua madrasah (lembaga pendidikan) ini senantiasa adadidalam kehidupan dalam segala urusan. Bahkan dalam hukumatau undang-undang wadh'iyyah (buatan manusia) juga kitadapati para pemberi penjelasan berbeda pendapat antara yangsatu dan yang lain. Ada yang menekankan bunyi teks dan adayang menitikberatkan pada kandungannya, atau antara pihakyang mempersempit dan memperluas.Islam - sebagai agama waqi'i (realistis) - memberikelapangan kepada kedua madrasah itu dan tidak menganggapsalah satunya keluar dari Islam, meskipun Madrasah"al-Maqashid" itulah menurut pendapat kami yangmengungkapkan hakikat Islam, dengan syarat tidak mengabaikannash-nash juz'iyyah secara keseluruhan.Dalam sunnah Rasul saw. sendiri terdapat sesuatu yangmendukung diterimanya perbedaan pendapat semacam ini dalamsuatu peristiwa yang terkenal, yaitu peristiwa shalat asardi Bani Quraizhah, setelah usai perang Ahzab.Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., ia berkata:Rasulullah saw. bersabda pada hari perang Ahzab:"Jangan sekali-kali seseorang melakukan shalat asar kecualidi (perkampungan) Bani Quraizhah."Sebagian mereka mendapatkan waktu ashar ditengah perjalanan.Lalu mereka berkata, "Kami tidak akan shalat asar kecualisetelah kami datang di Bani Quraizhah." Dan sebagian lagiberkata, "Kami akan melakukan shalat asar, karena bukan ituyang dimaksudkan Rasulullah saw. terhadap kita." Kemudianperistiwa itu dilaporkan kepada Rasulullah saw., maka beliautidak mencela salah satunya."2Al-Allamah Ibnul Qayyim berkata di dalam kitabnya ZadulMa'ad sebagai berikut:"Para fuqaha berbeda pendapat: manakah yang benar. Satugolongan mengatakan, 'Orang yang mengakhirkan (menunda)shalatnya itulah yang benar. Seandainya kami bersama mereka,niscaya kami juga mengakhirkannya sebagaimana yang merekalakukan, dan tidaklah kami melakukan shalat kecuali dikampung Bani Quraizhah demi melaksanakan perintahnya(Rasul), dan meninggalkan takwil yang bertentangan denganzhahir.'Golongan lain berkata, 'Bahkan orang-orang yang melakukanshalat di tengah perjalanan pada waktunya itulah yangmendapatkan keunggulan. Mereka berbahagia mendapatkan tigakeutamaan sekaligus, yakni bersegera melaksanakan perintahRasul untuk keluar, bersegera mendapatkan keridhaan Allahdengan melakukan shalat pada waktunya, dan bersegeramenjumpai kaum yang dituju.'Dengan demikian, mereka memperoleh keutamaan jihad,keutamaan shalat pada waktunya, mengerti apa yangdikehendaki, dan mereka lebih pandai daripada yang lain.Apalagi shalatnya itu adalah shalat asar yang merupakanshalat wustha berdasarkan nash Rasulullah saw. yang sahihdan sharih (jelas). Nash seperti itu tidak dapat ditolak dandisangkal lagi. Ia merupakan sunnah yang datang menyuruhmanusia untuk memeliharanya, bersegera kepadanya, danmelaksanakan pada awal waktunya. http://tentang- pernikahan.com/article/articleindex.php?aid=83

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda