Hikmah Surga

Hikmah surga ini berisi sekilas tentang beberapa artikel ilmiah pribadi sebaagai wujud pengembangan diri dan aktualisasi diri pada bidang pendidikan

Minggu, 15 Juni 2008

Pendidikan Usia Dini

Potret Pendidikan Usia Dini dan Secercah Harapan

Banyak pihak yang berpandangan bahwa anak-anak itu bagaikan kertas-kertas putih, bersih. Orang dewasa bebas untuk menggambari, mewarnai, menulisi, mencoreti, bahkan menyobek atau meremas-remas kertas itu. Kegiatan orang dewasa tersebut sekarang ini terasa semakin menjadi-jadi. http://bruderfic.or.id/artikel/lihatartikel.php?articleID=58.1. Potret Pendidikan Usia Dini dan SECERCAH HARAPAN!Banyak pihak yang berpandangan bahwa anak-anak itu bagaikan kertas-kertas putih, bersih. Orang dewasa bebas untuk menggambari, mewarnai, menulisi, mencoreti, bahkan menyobek atau meremas-remas kertas itu. Kegiatan orang dewasa tersebut sekarang ini terasa semakin menjadi-jadi. Anak-anak kecil harus melaksanakan banyak kegiatan. Mereka harus belajar di sekolah dengan banyak beban, karena harus menyerap banyak materi, mengerjakan sejumlah pekerjaan termasuk tugas dan pekerjaan rumah, sampai harus mengikuti les dan kursus yang ditentukan oleh orang tua mereka. Anak juga dianggap botol kosong, orang dewasa berhak mengisinya sepenuh-penuhnya, dengan sembarang isian sesuai dengan keinginan orang tua. Melihat situasi semacam ini, pastilah timbul pertanyaan dalam hati kita. Apakah kegiatan-kegiatan itu sungguh sesuai dengan perkembangan psikologis anak? Apakah kegiatan dan tuntutan itu sungguh merupakan kebutuhan dan minat anak? Apakah kurikulum yang sarat materi dan membebani anak dengan pekerjaan ini sesuai dengan dunia anak yang masih membutuhkan suasana bermain, keceriaan dan fantasi?Pendidik dan penyelenggara pendidikan, seringkali tidak dapat berkutik dengan tuntutan orang tua untuk menyelenggarakan berbagai macam aktivitas pembelajaran yang sebenarnya tidak tepat atau belum pada saatnya. Budaya instant (mau serba cepat dan tanpa usaha keras) dan suasana kompetisi (persaingan), sudah sangat mempengaruhi cara pikir dan perlakuan orang dewasa terhadap anak-anak kecil. Orang tua menginginkan agar anak-anaknya cepat menguasai sesuatu, dalam jumlah yang banyak dan lebih hebat daripada anak lainnya. Seolah-olah semakin cepat menguasai sesuatu, semakin banyak dan "hebat", semakin sehat dan baik perkembangan kejiwaan anak. Padahal secara alamiah (tentu ada kekecualian), kebutuhan, minat dan kepekaan mereka untuk mempelajari atau menguasai sesuatu membutuhkan proses, waktu dan pelatihan yang sesuai dengan usianya, baik usia mental, fisik maupun usia kronologis. Orang dewasa tidak lagi memikirkan dan memperlakukan mereka sebagai anak kecil dengan "dunia kecilnya". Kita memperlakukan mereka sebagai orang dewasa mini, Kita menuntut mereka berpikir, merasakan, bersikap, melakukan sesuatu, dan berdaya tahan seperti orang dewasa. Fenomena anak-anak kecil berangkat ke sekolah dengan beban berat (tas besar dan berisi banyak buku dan alat sekolah), wajah yang tidak ceria, pulang sekolah juga dengan wajah lesu dan tertekan karena banyak tugas dan pekerjaan rumah serta ditunggu oleh jadwal les atau kursus. Menunjukkan betapa belajar anak-anak kecil itu melampaui kemampuan mereka, istilah komputernya "overloaded". Mereka kehilangan kemerdekaannya sebagai anak-anak kecil.Kita kembalikan ruang kelas menjadi arena bermain, bernyanyi, bergerak bebas. Kita kembalikan ruang kelas sebagai ajang kreatif bagi anak dan menjadikan mereka kerasan dan secara psikologis nyaman. Kita bangun kembali suasana kelas yang penuh kekeluargaan, hangat dan akrab. Tidak lagi kita teruskan kelas hanya menjadi ajang instruksi, indoktrinasi, pembebanan dan penuangan seambrek materi saja, yang harus ditelan oleh anak-anak. Kita kembalikan kelas dalam suasana di mana setiap anak dihargai, diakui, dan diberi kesempatan untuk bertumbuh dan berkembang. Dengan demikian mereka akan membangun rasa percaya diri dan nilai-nilai positifnya. Kita hilangkan pendisiplinan dengan sistem komando militer dengan menggunakan pendekatan "ajrih-asih" (Taat karena Kasih).Kita perlu mengembangkan dan mempraktikkan pendekatan pembelajaran yang menjadikan mereka aktif, kreatif, asyik, sehingga terlepas dari suasana tertekan, terbebani dan situasi yang membosankan. Pendekatan-pendekatan itu misalnya pendekatan "pembelajaran aktif (active learning), "pembelajaran yang mempesona" (attractive learning), "pembelajaran yang mengasyikkan" (joyfull learning), dan "pembelajaran berbasis kecerdasan jamak" (multiple intelligences approach). Kita berharap bahwa dapat mengembangkan aspek pengetahuan, perasaan, sikap dan keterampilan anak tanpa harus membebani mereka. Kita melayani kebutuhan dan minat mereka. Kita bermimpi dapat melayani setiap kecerdasan yang mereka miliki. Kita bercita-cita dapat melayani cara kerja otak kanan dan kiri secara terpadu. Anak-anak beraktivitas tetapi tetap ceria, asyik, gembira, sekaligus belajar bersosialisasi dengan teman. Selain itu kita perlu membangun suasana sekolah yang baik, sehingga para pendidik dapat bekerja dengan penuh kasih sayang, dalam suasana cintakasih, pengertian, kerelaan dan kesabaran.. Anak tidak hanya menjadi obyek pembelajaran tetapi lebih sebagai subyek pembelajaran. Guru lebih bersikap demokratis dan menempatkan dirinya sebagai fasilitator. Guru memberikan suasana pembelajaran yang "merdeka" sehingga hasil pendidikannya adalah siswa yang kreatif, mandiri, cerdas, aktif, taat pada hati nurani, bertanggungjawab dan tetap ceria.2. Perkembangan Anak Usia Dini dan PEMBELAJARAN2.1. Montessori, mengatakan bahwa ketika mendidik anak-anak, kita hendaknya ingat bahwa mereka adalah individu-individu yang unik dan akan berkembang sesuai dengan kemampuan mereka sendiri. Tugas kita sebagai orang dewasa dan pendidik adalah memberikan sarana dorongan belajar dan memfasilitasinya ketika mereka telah siap untuk mempelajari sesuatu. Tahun - tahun pertama kehidupan anak adalah masa yang baik untuk suatu pembentukan, masa paling penting baik untuk perkembangan fisik, mental maupun spiritual. Di dalam keluarga dan pendidikan yang demokratis, orang tua dan pendidik berusaha memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan yang dibutuhkan oleh anak.Metode pembelajaran yang sesuai dengan tahun-tahun kelahiran sampai enam tahun biasanya menentukan kepribadian anak setelah dewasa. Tentu saja juga dipengaruhi seberapa baik dan sehat orang tua berperilaku dan bersikap terhadap anak-anak usia dini. Karena perkembangan mental usia awal berlangsung cepat, inilah periode yang tidak boleh disepelekan. Anak memiliki periode-periode sensitif atau kepekaan untuk mempelajari atau berlatih sesuatu. Sebagian besar anak berkembang pada masa yang berbeda dan membutuhkan lingkungan yang dapat membuka jalan pikiran mereka.Tahap perkembangan:a) Lahir – 3 tahun : memiliki kepekaan sensoris dan pikiran sudah dapat menyerap pengalaman-pengalaman melalui sensorinya.b) 1 ½ tahun – 3 tahun : kepekaan bahasa dan sangat tepat mengembangkan bahasanya (berbicara, bercakap-cakap, menirukan)c) 2 – 4 tahun : koordinasi gerakan otot (latihan berjalan), berminat pada benda-benda kecil, sadar adanya urutan waktu (pagi, siang, malam).d) 3 – 6 tahun : kepekaan peneguhan sensoris, kepekaan inderawi. * usia 3 – 4 tahun kepekaan untuk menulis * usia 4 – 6 tahun memiliki kepekaan yang bagus untuk membaca.2.1. Ki Hajar Dewantara, meyakini bahwa suasana pendidikan yang tepat dan baik adalah dalam suasana kekeluargaan dan dengan prinsip asih (kasih), asah (memahirkan) – asuh (bimbingan). Anak bertumbuhkembang dengan baik kalau mendapatkan perlakuan kasih sayang, pengasuhan yang penuh pengertian dan dalam situasi yang nyaman dan damai. Ia menganjurkan agar dalam pendidikan, anak memperoleh pendidikan untuk mencerdaskan pikiran, hati dan meningkatkan keterampilan tangan (educate the head, the heart and the hand). Kegiatan pembelajaran dan pendidikan didesain sedemikian sehingga berlangsung alamiah seperti bermain di "TAMAN". Sejak kecil anak anak hendaknya dilatih juga keterampilan tanganya, karena keterampilan tangan merupakan jendela pengetahuan. Anak jangan dicabut dari suasana keluarga dan dunia bermain mereka. Pembelajaran dan pelatihan kebiasaan semua dibungkus dalam permainan, dalam suasana riang, dan seperti di dalam keluarga. Yang penting pada masa ini adalah pembiasaan dan pelatihan menggunakan panca indera serta persiapan untuk dapat membaca, menulis dan berhitung dengan latihan berbicara, menggambar, melukis, bernyanyi, menari dan mengenal dunia lingkungan sempit mereka. Mereka juga memiliki imajinasi yang kreatif, oleh karena itu cerita-cerita imajinatif dan yang merangsang imajinasi mereka sangat menarik. Pelajaran bercerita atau membacakan cerita tetap sangat berguna bagi mereka, lebih-lebih untuk mengembangkan daya imajinasi, kreativitas, kemampuan berbicara, mendengarkan dan mengarang.2.2. Langeveld, berpendapat bahwa sejak usia tiga setengah tahun seorang anak sudah mampu menerima pendidikan. Langeveld menengarai bahwa pada tahap Taman Kanak-kanak (3 – 6 tahun), kemampuan-kemampuan yang hendaknya dicapai siswa adalah:2.2.1. Berbahasa lisan, berbicara dan bercerita2.2.2. Mengenal pola kehidupan sosial (aku, keluarga, dan sekolah)2.2.3. Mengerti dan menguasai keterampilan untuk kepentingan kebutuhan sehari-hari, seperti misalnya mandi, menggosok gigi, berganti pakaian, makan, ke toilet2.2.4. Mulai mengenal dirinya sendiri dan keinginan serta kehendakya2.2.5. Mulai berkhayal, dan belum dapat membedakan secara tegas antara kenyataan dan imajinasi belaka.2.3. Taman Kanak-kanakPada umur dua sampai empat tahun, anak ingin bermain, melakukan latihan berkelompok, melakukan penjelajahan, bertanya, menirukan, dan mencipta sesuatu. Pada masa ini anak mengalami kemajuan pesat dalam keterampilan menolong dirinya sendiri dan dalam keterampilan bermain. Seluruh sistem geraknya sudah lentur, sering mengulang-ulang perbuatan yang diminatinya dan melakukannya secara wajar. Di Taman Kanak-kanak, anak juga mengalami kemajuan pesat dalam penguasaan bahasa, terutama dalam kosa kata. Hal yang menarik, anak-anak juga ingin mandiri dan tak banyak lagi mau tergantung pada orang lain.Pembelajaran yang menarik dan menyenangkan bagi anak-anak adalah yang selalu "dibungkus" dengan permainan, suasana riang, "enteng", bernyanyi dan menari. Bukan pendekatan pembelajaran yang penuh dengan tugas-tugas yang berat, apalagi dengan tingkat pengetahuan, keterampilan dan pembiasaan yang tidak sederhana lagi seperti paksaan untuk membaca, menulis dan berhitung dengan segala pekerjaan rumahnya yang melebihi kemampuan anak-anak.2.4. Usia Tiga Tahun Belajar MembacaPada usia tiga sampai lima tahun, anak-anak dapat diajari menulis, membaca, dikte dengan belajar mengetik, entah menggunakan mesik ketik manual atau komputer. Sambil belajar mengetik anak-anak belajar mengeja, menulis dan membaca. Suatu penelitian di Amerika menghasilkan bahwa ada anak-anak yang dapat belajar membaca sebelum usia 6 tahun. Ada sekitar 2 % anak yang sudah belajar dan mampu membaca pada usia tiga tahun, 6% pada usia empat tahun, dan sekitar 20% pada usia lima tahun. Bahkan terbuktikan bahwa pengalaman belajar di Taman Kanak-Kanak dengan kemampuan membaca yang memadai akan sangat menunjang kemampuan belajar pada tahun-tahun berikutnya.Moore meyakini bahwa kehidupan tahun-tahun awal merupakan tahun-tahun yang paling kreatif dan produktif bagi anak-anak. Maka sejauh memungkinkan, sesuai dengan kemampuan, tingkat perkembangan dan kepekaan belajar mereka, kita dapat juga mengajarkan menulis, membaca, dan berhitung pada usia dini. Yang penting adalah strategi pengalaman belajar dan ketepatan mengemas pembelajaran yang menarik, mempesona, penuh dengan permainan dan keceriaan, "enteng" tanpa membebani dan merampas dunia kanak-kanak mereka.2.5. Perkembangan Emosi pada usia 0 – 2 tahunPada saat kelahiran sampai sekitar umur tiga bulan, anak mengalami perasaan kegembiraan dan kepuasan. Namun ketika menginjak usia tiga bulan selain mengalami perasaan kegembiraan, kepuasaan, keceriaan, juga kadang-kadang mengalami keadaan tertekan. Sampai usia enam bulan, bayi mengalami ketakutan, kekecewaan, kesendirian, tertekan, kegembiraan dan keceriaan. Pada usia ini yang mulai banyak berkembang adalah perasaan-perasaan negatif. Ketika usia 12 bulan, perasaan yang berkembang adalah perasaan-perasaan positif seperti keceriaan, kegembiraan, dan kasih sayang. Sampai usia 18 bulan perasaan kasih sayang berkembang menjadi kesukaan hati dan kesenangan hati, dan pada usia selanjutnya sampai usia 24 bulan yang berkembang adalah perasaan sukacita yang menjadi kegembiraan dan keasyikkan.Pada usia ini orang tua dan pendidik, hendaknya mengembangkan perasaan-perasaan positif pada anak, tanpa mencela perasaan-perasaan negatif. Harapannya agar anak-anak berkembang perasaan positifnya dan menjadi bahagia. Di dalam keluarga dan kelas perlu dibangun suasana yang menciptakan perasaan-perasaan positif, tetapi sekaligus juga penerimaan seandainya anak-anak mengalami perasaan negatif. Dari pengalaman dan penyelidikan menunjukkan bahwa ancaman, tekanan, menakut-nakuti hanya akan mengakibatkan anak gampang merasa cemas dan tertekan dan akhirnya kurang memiliki rasa percaya diri.Musik yang baik, cerita-cerita, lingkungan fisik, lingkungan psikologis yang dapat menimbulkan perasaan positif harus kita perhatikan dalam dunia anak-anak. Seperti misalnya musik klasik, musik anak-anak yang ceria dan sederhana, cerita-cerita bergambar yang menimbulkan rasa bangga, senang , asyik, lingkungan kelas dan kamar yang penuh warna-warna ceria, alat-alat permainan yang menimbulkan kreativitas, pengalaman di dalam keluarga yang ceria, menyenangkan dan demokratis, harus kita bangun bagi anak-anak kita.2.6. Meningkatkan Perkembangan Kecerdasan AnakSalah satu hal yang dibutuhkan untuk dapat meningkatkan perkembangan kecerdasan anak adalah suasana keluarga dan kelas yang akrab, hangat serta bersifat demokratis. Masa usia 2 – 6 tahun sangat senang kalau diberi kesempatan untuk menentukan keinginannya sendiri, karena mereka sedang membutuhkan kemerdekaan dan perhatian. Pada masa ini juga muncul rasa ingin tahu yang besar dan menuntut – pemenuhannya. Mereka terdorong untuk belajar hal-hal yang baru dan sangat suka bertanya dengan tujuan untuk mengetahui sesuatu. Maka guru dan orang tua hendaknya memberikan jawaban yang wajar. Sampai pada usia ini, anak-anak masih suka meniru segala sesuatu yang dilakukan orang tuanya.Minat anak pada sesuatu itu tidak berlangsung lama, maka guru dan orang tua harus pandai menciptakan kegiatan yang variatif dan tidak menerapkan disiplin kaku dengan rutinitas yang membosankan. Anak pada masa ini juga akan berkembang kecerdasannya dengan cepat kalau diberikan penghargaan dan pujian yang disertai kasih sayang, tanpa meninggalkan memberikan pengertian kalau melakukan kesalahan dan kegagalan. Dengan kasih sayang yang diterima, anak akan berkembang emosi dan intelektualnya. Penyelidikan menyatakan bahwa orang-orang yang cerdas dan berhasil umumnya berasal dari keluarga yang demokratis, suka melakukan uji coba, menyelidiki sesuatu, suka menjelajah alam dan tempat, dan aktif tak pernah diam berpangku tangan. Dalam proses pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan uji coba (trial and error), mengadakan penyelidikan bersama-sama, menyaksikan dan menyentuh sesuatu obyek, mengalami dan melakukan sesuatu, anak-anak akan jauh lebih mudah mengerti dan mencapai hasil belajar sekaligus mampu memanfaatkan apa yang telah dipelajari.3. Pentingnya Tahun-tahun AwalOrang tua dan pendidik pada usia dini hendaknya memahami hal-hal yang penting pada tahun-tahun awal usia dini. Hal-hal yang penting pada tahun-tahun awal itu antara lain:3.1. Anak berusia 3 tahun sudah dapat belajar bermain dan berbicara3.1. Anak usia 3 – 4 tahun memiliki rasa ingin tahu yang besar, maka kebebasan dan kesempatan untuk mengamati, bergerak dan melakukan kegiatan eksplorasi diri dan lingkungan perlu diberikan.3.2. Anak usia 2 – 6 tahun senang mengenali dirinya sendiri dan dunia yang mengelilinginya. Maka memperkenalkan nama diri, nama orang-orang disekitarnya, sebutan bagian-bagian dari tubuh, nama-nama benda di rumah, di halaman, di sekolah, sangat tepat pada usia ini.3.3. Anak bergerak aktif dan sering mengikuti dorongan-dorongan hatinya, pada masa ini masa yang baik untuk mengembangkan karakter anak. Karakter anak dibentuk melalui aktivitas dan belajar selama periode usia 3 – 6 tahun. Biarkan anak menjadi ekspresif mengungkapkan dorongan hatinya sekaligus dilatih untuk mengatur atau mengontrol diri dalam beraktivitas, sehubungan dengan sopan santun, kebersihan, kerapihan, ketertiban, kejujuran, sekaligus sikap sosial terhadap orang-orang sekitar.3.4. Anak akan berkembang rasa percaya dirinya kalau mendapatkan suasana demokratis, pujian dan penghargaan yang wajar. Tuntutan ketaatan yang berlebihan, tidak ada kesempatan untuk memilih sendiri dan berpendapat hanya akan menjadikan anak patuh tanpa tanggungjawab, kurang percaya diri dan memiliki sikap ketergantungan yang tinggi kepada orang lain. Pujian dan penghargaan memang juga diperlukan, lebih-lebih pujian yang tepat pada waktu dan tempatnya, tanpa harus menunggu ketika naik kelas atau berhasil secara gemilang. Pujian dan penghargaan berupa kata-kata dan sikap positif yang ditunjukkan dengan emosi yang positif lebih mengesan dan berdampak pada perkembangan selanjutnya daripada berupa barang, semahal apapun barangnya.3.5. Anak-anak membutuhkan rasa nyaman, rutinitas dan tata aturan yang jelas. Hanya ada satu suasana yang menyebabkan anak cepat belajar dan berlatih yaitu suasana yang nyaman baik secara fisik maupun psikologis. Suasana kelas yang riuh, menakutkan, pendidik dan orang tua yang "galak", teman-teman yang suka mengancam, seringkali menyebabkan terganggunya anak berhasil dalam belajar dan berlatih.3.6. Disiplin yang keras dan kaku tidak baik bagi anak, karena mereka baru berkembang dan tidak mengerti sepenuhnya, mengapa harus berdisiplin keras dan kaku. Disiplin yang diperlukan adalah disiplin ala anak-anak bukan ala orang dewasa apalagi disiplin ala militer. 3.7. Anak belajar salah satunya dengan cara meniru orang dewasa dan juga teman sebaya. Mereka belajar kebiasaan yang baik dan buruk dari orang lain. Anak-anak usia dini adalah peniru paling ulung, oleh karena itu harus bijaksana benar ketika kita berhadapan dengan anak-anak dalam berperilaku, bersikap dan berkata-kata.4. Pertumbuhan dan PembelajaranPertumbuhan fisik dan psikologis anak hendaknya dipakai sebagai pijakan dalam memberikan pembelajaran dan pelatihan kepada mereka. Kenang-kenangan akan pengalaman masa usia dini cukup menentukan akan pertumbuhan dan keberhasilan pembelajaran di kemudian hari.4.1. Sabarlah menghadapi anak kecil. Pelajaran dan pelatihan tidak akan ada gunanya kalau disampaikan tidak ada waktunya. 4.2. Anak belajar, apabila telah siap untuk belajar. Belajar yang lebih cepat dari masanya seringkali akan menimbulkan kekecewaan dan kegagalan baik bagi anak sendiri maupun orang tuanya. 4.3. Pada umumnya usia untuk belajar membaca adalah usia kecerdasan enam tahun. Pada usia sebelumnya boleh saja diperkenalkan gambar huruf atau angka, atau mengenali barang-barang dengan namanya, membaca dengan pelan-pelan, dibacakan bagian-bagian cerita yang menarik, dan kemudian menirukan kata-kata singkat yang bendanya dan artinya sudah dipahami, tetapi belajar menulis dan membaca yang sesungguhnya hendaknya ketika anak mencapai usia 6 tahun atau duduk di kelas I SD.5. Pendidikan Humanistik dan Pembelajaran AtraktifPembelajaran berbasis kompetensi berarti suatu program pembelajaran di mana kompetensi yang diharapkan dicapai oleh siswa, sistem penyampaian, dan indikator pencapaian hasil belajar dirumuskan secara tertulis sejak perencanaan dimulai. Dalam pembelajaran berbasis kompetensi yang perlu adalah adanya rumusan kompetensi yang ingin dicapai secara spesifik, jelas dan terukur; strategi penyampaian yang menekankan keaktifan siswa, dengan penggunaan metode yang kolaboratif dan manajemen waktu yang tepat; serta sistem evaluasi yang tidak hanya mengukur daya ingat saja tetapi lebih-lebih pada daya nalar dan keterampilan. Yang pokok adalah penguasaan kompetensi dasar, oleh karena itu materi yang tidak menunjang pencapaian kompetensi dapat dihilangkan. Dasar proses pembelajaran adalah kompetensi, sehingga kegiatannyapun harus menurut pada kompetensi yang telah dirumuskan, bukan berdasarkan pada banyaknya dan urutan materi yang ada. Dengan demikian dibutuhkan keterampilan bagi para pendidik untuk merumuskan kompetensi dasar dan sekaligus menyeleksi materi yang ada, serta strategi pengalaman belajar yang membuat siswa dengan 'gampang' mencapai kompetensi dasar.5.1. Pendidikan HumanistikPendidikan yang humanis menekankan bahwa pendidikan pertama-tama dan yang utama adalah bagaimana terjalinnya relasi dan komunikasi individual dan personal di dalam komunitas sekolah. Relasi dan komunikasi ini akan menghasilkan buah-buah pendidikan jika dilandasi kasih di antara mereka. Pribadi-pribadi akan berkembang secara sehat dan optimal jika berada dalam suasana unconditional love, understanding heart, dan personal relationship yang memadai. Mendidik sesungguhnya adalah menjadi "modelling" bagi anak-anak. Mendidik tidak hanya sekedar mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga nilai-nilai dan sikap.Pendidikan yang efektif adalah pendidikan yang berpusat pada siswa, pendidikan BAGI siswa. Pendidik membantu peserta didik untuk menemukan, mengembangkan dan mencoba memanfaatkan kemampuan mereka. (the learners-centered teaching). Pendidikan yang menghargai dan menghormati kepribadian siswa. Pendidikan yang tujuannya adalah semakin menjadikan mereka sebagai pribadi. Pendidikan adalah memanusiakan manusia muda.5.2. Pembelajaran AktifPembelajaran aktif adalah pembelajaran yang menekankan keaktifan siswa untuk mengalami sendiri, berlatih, berkegiatan, sehingga dengan daya pikir, emosi dan keterampilannya, mereka belajar dan berlatih. Pendidik adalah seorang fasilitator, kedudukan pendidik adalah pembimbing dan pemberi arah, peserta didik merupakan obyek sekaligus subyek dan mereka bersama-sama saling mengisi kegiatan, belajar aktif dan kreatif, suasana kelas demokratis. Diharapkan terjadi kemandirian akademis, partisipasi aktif kelas, dan sosialitas yang memadai. Pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan nalar, berpikir aktif positif, kreatif, menemukan alternatif, mengembangkan life skill dan kemampuan pengolahan emosi. Sekolah dengan visi dan misinya melaksanakan pendidikan, pembelajaran dan pelatihan sehingga menghasilkan siswa yang cerdas, berkeahlian sekaligus berkepribadian tangguh.5.3. Pembelajaran AtraktifPembelajaran atraktif adalah suatu proses pembelajaran yang mempesona, menarik, mengasyikkan, menyenangkan, mengagumkan, tidak membosankan, variatif, kratif, dan indah. Pembelajaran ini sangat tepat untuk usia dini, karena pada umumnya anak cepat bosan belajar dan berlatih, kegiatannya ditentukan oleh suasana hati dan menyenangi hal-hal yang indah, warna-warni, menggembirakan, dan mengumbar daya imajinasi yang tinggi dan liar. Pendidik hendaknya piawai dalam menciptakan proses pembelajaran yang mempesona dan membesut metode serta sarana yang mampu membuat anak-anak asyik belajar. Pendidik harus kreatif dan inovatif dalam menciptakan alat dan sarana belajar, alat permainan serta lagu dan cerita yang sederhana dan ringkas, sekaligus menarik. Pendidik tidak kehabisan akal untuk mengaktifkan dan membuat siswa asyik belajar.Keterpesonaan dapat diciptakan melalui keterampilan pendidik dalam membuat dan menggunakan sarana prasaranan pembelajaran, menentukan pendekatan yang tepat dan variatif, pilihan metode, penampilan diri, dan dalam berkomunikasi dan berelasi dengan siswa. Penampilan pendidik dapat dilihat dari penampilan dalam berpakaian atau berdandan; ekspresi wajah dan tubuh yang menampakkkan kebahagiaan, kegesitan dan kelincahan; ungkapan kata-kata yang menunjukkan kesantunan dan penghargaan yang positif; ekspresi emosi yang positif serta kemampuan untuk "mensejajarkan diri" dengan siswa. Pendidik yang atraktif adalah pendidik yang memiliki pengetahuan dan keterampilan, serta sikap profesional dalam mengusahakan proses pembelajaran yang menarik dan mengagunkan, yang dimulai dari penciptaan profil diri yang menarik dan berpengaruh.5.4. Pembelajaran Berdasarkan Kecerdasan JamakHoward Gardner, menggeserkan pemahaman dalam pendidikan, dengan gagasannya mengenai kecerdasan jamak. Pendidikan dan pembelajaran seharusnya memobilisasi kecerdasan jamak. Bagaimana orang tua dan pendidik dapat membantu sebaik mungkin anak-anak mengembangkan kecerdasannya: kecerdasan matematis/logis, verbal/bahasa, interpersonal, intrapersonal, kinestetik/gerak, ritme/musikal, visual/spasial. Kecerdasan inter dan intra berkaitan dengan kecerdasan emosional. Kecerdasan matematis dan bahasa lebih pada aktivitas otak kiri, sedangkan yang lainnya pada aktivitas otak kanan. Anak yang mungkin tidak mampu dalam kecerdasan matematis dan bahasa, dia dapat dikembangkan dalam lima kecerdasan lainnya, seperti kecerdasan musikal, kinestetik, visual/spasial, dalam hal relasi dan komunikasi, bagaimana memahami orang lain dan dalam kerjasama. Setiap anak dapat ditemukan kecerdasan jamaknya, dibantu cara belajarnya yang tepat dan perlu mendapatkan pola pembelajaran yang tepat pula. Sejauh mungkin pendidik mengusahakan pusat-pusat pembelajaran yang mengacu pada kecerdasan jamak, menerapkan metode kolaboratif, seleksi pendekatan dan pengelompokan siswa.Salah satu penyebab kegagalan belajar di sekolah dikarenakan pendidik memandang bahwa setiap anak itu memiliki pola belajar yang sama, ritme dan kecepatan yang sama dalam perkembangan, sehingga tidak menyediakan proses dan menu pembelajaran yang variatif dan kreatif. Akibatnya hanya sebagian anak tertentu saja yang maju dan berkembang. Motto berikut dapat memotivasi kita dalam melaksanakan proses pembelajaran berdasarkan kecerdasan jamak: "Semua anak itu cerdas dan didiklah setiap anak sesuai dengan keunikan talentanya masing-masing". "Kenalilah dirimu sendiri dan berjalanlah beriringan dengan teman-temanmu, merupakan kunci untuk mengembangkan kecerdasan".Beberapa keuntungan proses pembelajaran berdasarkan kecerdasan jamak: anak semakin memiliki kemandirian akademis; terampil menghadapi masalah; mampu bekerjasama secara kooperatif; kreatif dan variatif dalam bekerja; semakin dinamis dan bergerak; terlatih sikap kepemimpinan dan aktif bekerja dalam team; di rumah rajin belajar dan aktif berlatih; meningkatnya kemampuan berpikir, merasakan, bekerjasama; dan lebih bergairah dalam hidup dan bahagia.6. Pendekatan Pembinaan Watak Usia DiniProses pendidikan sebenarnya merupakan proses mempengaruhi orang lain. Pendidik dan orang tua hendaknya menjadi figur yang berpengaruh pada anak-anak. Mestinya mereka menjadia model panutan, teladan, figur orang dewasa yang diidolakan anak-anak. Sayang, sekarang ini kita dilanda kemiskinan idola pendidik dan orang tua. Pendidik dan orang tua menjadi teladan kedewasaan, kematangan emosional, efektifitas dan integritas pribadi. Sangatlah penting anak-anak mendapatkan pendidikan watak yang tepat guna untuk hidupnya. Orang tua dan pendidik hendaknya tidak bosan untuk memberikan nasihat; teladan; ruang pilihan, kesempatan untuk mengambil keputusan; keleluasaan anak-anak untuk meneladan; mengikuti dan menilai baik buruk sesuatu, benar salah suatu sikap dan perbuatan. Namun pembinaan pengetahuan tidak sekedar memberikan pengetahuan tetapi merupakan pelatihan pembiasaan terus menerus tentang sikap yang benar dan baik, sehingga akhirnya menjadi suatu kebiasaan. Pembinaan dan pembiasaan watak perlu dilakukan sejak usia dini sebab anak adalah "peniru ulung" dan "pembelajar ulet" sekaligus.6.1. Tujuan Pembinaan?Sebelum membina perlu menentukan seperangkat nilai yang mau ditanamkan. Watak kepribadian macam apa yang ingin dilatihkan dan dikembangkan? Sikap sosial macam apa yang hendak kita bangun? Kegiatan atau pengalaman apa yang hendak kita berikan untuk membangun etika dan moral yang baik sesuai dengan usia? Namun yang paling pentin gadalah nilai, etika dan moral dari sikapo dan perilaku orang tuanya sendiri. Nilai apa yang hendak kita transferkan kepada anak-anak? Kita dapat mencari "potret" orang tua yang positif dalam menanamkan nilai-nilai. Pendekatan macam apa yang hendak kita gunakan secara positif.Cara yang tepat: 1) sadari bahwa nilai-nilai merupakan dasar segala tingkah laku etis! 2) temukan nilai-nilai yang kita hargai dan ciptakan pengalaman bersama anak bahwa nilai itu baik dan bermakna! 3) berikan ganjaran dan dukungan jika anak bersikap berdasar nilai yang kita ajarkan! 4) berikan waktu, tuntunan dan perhatian yang dapat dilihat dan dirasakan! 5) ciptakan kesempatan sehingga anak belajar memilih dan mengambil keputusan! 6) hayati nilai-nilai setiap harinya!6.2. Jadilah TeladanPepatah mengatakan, "Anak-anak tidak pernah menjadi pendengar yang baik bagi orang tuanya, tetapi mereka dapat menjadi "peniru ulung" bagi orang tuanya"> Mereka belajar melalui melihat apa yang ada dan terjadi di sekitarnya, bukan lewat nasihat semata-mata. Nilai yang kita ajarkan melalui kata-kata, hanya sedikit yang mereka lakukan, sedangkan nilai yang kita ajarkan melalui perbuatan, akan banyak mereka lakukan. Sikap dan perilaku kita merupakan pendidikan watak yang terjadi setiap hari, dari pagi sampai malam.Menjadi model pelaksana moral bagi anak-anak bukan suatu pilihan bebas, tetapi suatu keharusan yang tak terelakkan. Ini kenyataan hidup. Kita menjadi teladan mereka setiap hari. Kita juga belajar moral dari keteladanan orang tua dan orang dewasa di sekitar kita. Bagaimana menjadi model yang baik? 1) Sadar bahwa kita menjadi teladan utama anak-anak! 2) Tunjukkan prioritas nilai melalui kegiatan dan pengalaman harian! 3) Tunjukkan kita adalah pribadi yagn ramah, positif, dan terintegrasi! 4) Hadapai anak dengan penuh penghargaan, cintai mereka dan mengertilah mereka! 5) Yakinlah akan nilai-nilai yang kita miliki! 6) Pada pilihan etis, bertanyalah kepada mereka bagaimana sebaiknya harus mengambil pilihan atau keputusan.6.3. Harapan yang RealistikSeringkali orang tua/pendidik mencanangkan harapan yang tidak realistik, tidak sesuai dengan kemampuan dan tahap perkembangan moral anak-anak. Anak TK sampai kelas III SD, menurut Kohlberg, berada pada tahap prakonvensional. Kesadaran moral muncul dengan orientasi hukuman dan ketaatan, akibat fisik yang dialami, belum menemukan arti dan maknanya. Orientasinya adalah hedonis untuk diri sendiri. Penanaman nilai hendaknya mulai dengan yang kongkrit, mudah dilakukan, tidak menilbulkan perasaan takut, malu, cemas dan perasaan bersalah.Anak menuruti peraturan hanya ingin lepas dari "persoalan" dengan orang tua/ dewasa, sebagai pihak yang mahakuasa dan anak sebagai pihak yang lemah tak berdaya. Anak usia 4 – 6 tahun tidak dapat dituntut lepas dari motivasi ini. Mereka belum tahu alasannya mengapa ada aturan tertentu, mereka hanya tahu bahwa aturan itu adalah kekuatan besar dari orang tua atau kakaknya agar mereka tetap berkuasa dan mudah untuk mengaturnya. Anak membatinkan pendidikan nilai melalui mekanisme "hanya ada satu jalan", tidak ada "memberi dan menerima".Sikap kita? 1) Tunjukkan alasan secara sederhana, jika mereka bertanya "Mengapa"? 2) Ketika mereka protes tidak adil, jelaskan bahwa adil tidak mesti sama atau sebanding! 3) Adil mereka artikan terpenuhinya keiningan, jelaskan bahwa tidak semua keinginan dapat semua terpenuhi karena alasan sosial, keagamaan, ekonomi! 4) Ciptakan hubungan yang hangat, akrab! 5) Ajarkan suatu nilai dengan nasihat dan modelling!6.4. Cinta Tanpa SyaratAnak akan mengembangkan pergaulan sosialnya secara sehat, jika memperoleh pengalaman bahwa diri mereka berharga, berkemampuan, berpotensi dan pantas untuk dicintai. Hanya orang tua yang memiliki kemampuan yang tulus untuk mencintai anaknya tanpa syarat. Akan akan merasa nyaman, aman, dan harga diri yang sehat, bukan dari bagaimana orang tua mencintainya tetapi bagaimana ia merasakan dan mengalami dicintai.Setiap anak membutuhkan perhatian, sapaan, penghargaan secara positif dan cinta tanpa syarat untuk mengembangkan dirinya yang berharga. Berdasarkan pengalaman ini mereka juga akan memperlakukan orang lain dengan cinta dan perhatian, memperlakukan orang lain secara etis. Anak akan memandang teman-temannya juga pantas dihargai, dicintai, dan diperhatikan seperti dirinya.Menunjukkan cinta tanpa syarat tidak berarti bahwa kita tidak boleh menegur tindakan negatif anak. Orang tua tetap harus menegur dan memberikan sanksi terhadap pelanggaran atau perbuatan negatif anak. Hanya, orang tua harus membedakan antara perbuatan yang dilakukan dengan "pribadi" anak itu sendiri. Bukan "pribadi" anak itu yang membuat kita marah, tetapi salah satu perbuatannya. Dengan sabar kita menunjukkan kesalahan sikap atau perbuatannya sekaligus menyanyanginya sebagai anak. Cinta tanpa syarat berpusat pada "pribadi" anak, sedangkan pendisiplinan berfokus pada perilaku atau sikap tertentu anak.Bagaimana menunjukkan "Unconditional Love"? 1) ekspresikan dengan mencium, merangkul, membopong, mendekap dan raut wajah dan kata-kata yang positif dan ramah! 2) Dasarkan cinta kita pada siapakah dia, bukan hanya pada apa yang mereka perbuat! 3) Tunjukkan rasa penerimaan dan pengalaman didukung setiap hari! 4) Cari kesempatan yang tepat setiap hari untuk menghargai perilaku positif! 5) Tegur perilaku negatif mereka, sekaligus tunjukkan bahwa cinta kita tidak berdasrkan pada perilaku mereka!6.5. Harga Diri AnakAnak yang hidup ditengah-tengah keluarga dengan harga diri yang cukup positif akan lebih mengalami dihargai, dicintai, diperhatikan dan memiliki rasa harga percaya diri yang kuat dibanding dengan anak yang tinggal dalam keluarga dengan harga diri yang cukup negatif. Keluarga dengan harga diri yang cukup lemah biasanya mudah menghakimi, menghukum, menyalahkan anak-anak. Bagaimana mengembangkan harga diri positif pada anak? 1) Harga diri merupakan faktor penting agar hidup lebih bernilai, dan membahagiakan! 2) Hormati dan hargai pendapat dan gagasan anak! 3) Bantulah anak untuk menghargai keunikannya! 4) Berilah kesempatan anak-anak untuk mengembangkan dan menunjukkan kemampuanya! AKHIRNYA....!Tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia muda. Pendidikan mesti menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, beriman, berguna dan berpengaruh di masyarakatnya, yang bertanggungjawab atas hidup dirinya dan orang lain, yang berwatak luhur dan berkeahlian. SEMOGA.....

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda