Hikmah Surga

Hikmah surga ini berisi sekilas tentang beberapa artikel ilmiah pribadi sebaagai wujud pengembangan diri dan aktualisasi diri pada bidang pendidikan

Minggu, 15 Juni 2008

Pendidikan Demokratis

Menuju Pendidikan Demokratis-Humanistik

Kompas, Sabtu, 23 Juli 2005. Pendidikan dan pembelajaran di sekolah selama ini dinilai kurang demokratis. Kurangnya ruang bagi peserta didik untuk berimajinasi dan berkreasi menunjukkan eksistensinya dengan perspektif mereka sendiri menunjukkan hal itu. Padahal, kreativitas dan kemampuan berpikir kritis merupakan kecakapan yang menjadi modal anak agar mampu menghadapi tantangan dan lebih kompetitif (Kompas, 2 Desember 2004).Kritik dan keprihatinan tersebut sangat beralasan. Realitas proses pembelajaran yang terjadi di sekolah-sekolah selama ini sama sekali tidak memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengembangkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis mereka. Peserta didik masih saja menjadi obyek. Mereka diposisikan sebagai orang yang tertindas, orang yang tidak tahu apa-apa, orang yang harus dikasihani, oleh karenanya harus dijejali dan disuapi.Setiap hari indoktrinasi dan brainwashing terus saja terjadi terhadap anak-anak. Anak-anak terus saja dianggap sebagai bejana kosong yang siap dijejali aneka bahan dan kepentingan demi keuntungan semata. Berpuluh-puluh tahun anak-anak kita dihadapkan pada hafalan kering tanpa adanya kesempatan untuk mengembangkan daya eksplorasi dan kreativitas. Anak-anak dipasung kebebasannya, tidak lagi dilihat sebagai anak (lebih-lebih di pendidikan dasar), tetapi sebagai robot, beo, dan kader politik mini yang hanya tahu melaksanakan perintah ”tuan”-nya.
Akibatnya, seperti yang dikatakan (alm) Romo Mangunwijaya, anak-anak tidak berproses mekar menjadi diri mereka sendiri, melainkan menjadi obyek. Model pendidikan yang demikian sungguh tidak manusiawi. Alih-alih ”memanusiakan”, justru sebaliknya terjadi proses dehumanisasi di sana.Terjadinya proses dehumanisasi ini, apalagi terjadi di jagat pendidikan, sungguh sangat memprihatinkan. Dalam ”kacamata” Mangunwijaya—seperti yang terungkap saat peringatan 1.000 hari wafatnya Romo YB Mangunwijaya—mengupayakan pendidikan yang demokratis oleh karenanya adalah sebuah keniscayaan.
Model pendidikanSaat ini model pendidikan yang dibutuhkan adalah model pendidikan yang demokratis, partisipatif, dan humanis: adanya suasana saling menghargai, adanya kebebasan berpendapat/berbicara, kebebasan mengungkapkan gagasan, adanya keterlibatan peserta didik dalam berbagai aktivitas di sekolah, dan kemampuan hidup bersama dengan teman yang mempunyai pandangan berbeda.
Oleh karena itu, paradigma pembelajaran dan pendidikan seyogianya merupakan sebuah paradigma pembelajaran yang sedari tingkat filosofis, strategi, pendekatan proses dan teknologi pembelajarannya menuju ke arah pembebasan anak didik dengan segala eksistensinya. Dengan demikian, menurut Azyumardi Azra yang diamini Conny C Semiawan (Kompas, 2/12/2004), baru anak didik bisa bebas mewujudkan keseluruhan potensi dirinya.Mewujudkan sekolah yang demokratis memang bukanlah pekerjaan yang gampang. Berbagai kendala yang tidak mendukung terbentuknya demokratisasi dalam pendidikan tersebut tidak mudah kita singkirkan begitu saja. Namun, kita tidak boleh mundur dan putus asa. Mengingat pentingnya pendidikan yang demokratis, partisipatif, dan humanis tersebut, upaya ke arah itu mutlak dilakukan.
Mengupayakan pendidikan yang demokratis adalah keharusan. Mengutip John Dewey dalam bukunya Democracy and Education, pendidikan yang demokratis harus dimulai dari sekolah. Menurut Dewey, pendidikan yang demokratis bukan hanya untuk menyiapkan siswa bagi kehidupan mereka nanti di masyarakat, tetapi sekolah sendiri juga harus menjadi masyarakat mini, di mana praktik demokrasi yang ada dalam masyarakat perlu diadakan secara nyata di sekolah. Model hidup di sekolah yang mirip dengan situasi masyarakat tempat si anak berasal mesti diciptakan. Dengan demikian, anak dibiasakan dengan karakteristik perikehidupan yang demokratis tersebut.
Dalam rangka mendorong dan menumbuhkembangkan pendidikan yang demokratis dan humanis ini, Romo Mangun menyarankan adanya beberapa kemampuan dasar yang secara sadar dikembangkan menjadi bekal yang ampuh dalam hidup bermasyarakat. Kemampuan dasar yang mesti dikembangkan tersebut di antaranya kemampuan berkomunikasi, jiwa eksploratif, kreatif, serta integral.
Pemilikan kemampuan berkomunikasi, ditandai penguasaan bahasa dan kepercayaan diri dalam berkomunikasi dengan semua orang dari segala lapisan dirasakan, sangat penting saat ini. Hal ini disebabkan hanya mereka yang mampu menyerap, menguasai, dan mengolah informasilah yang akan mampu berkompetisi dan dapat berhasil dalam persaingan hidup di tengah masyarakat.Jiwa eksploratif yang dicirikan adanya keinginan anak didik untuk suka mencari, bertanya, menyelidiki, merumuskan pertanyaan, mencari jawaban, dan peka menangkap gejala alam sebagai bahan untuk mengembangkan diri mesti ditumbuhkembangkan dalam diri anak agar menjadi pribadi-pribadi yang mandiri dan berkualitas. Jiwa kreatif—dicirikan anak suka menciptakan hal-hal baru dan berguna, tidak mudah putus asa, berpikir lateral serta semangat integratif yang ditandai kemampuan melihat dan menghadapi beragam kehidupan dalam keterpaduan yang realistis, dan utuh—adalah aspek pemberdayaan lain yang mutlak ditanamkan dan dimiliki peserta didik.Program pembelajaranUntuk itu, model pendidikan dan pembelajaran yang didominasi kegiatan ceramah, yang menempatkan guru sebagai figur sentral dalam proses pembelajaran di kelas karena banyak berbicara, sementara siswa hanya duduk manis menjadi pendengar pasif dan mencatat apa yang diperintahkan guru, harus segera ditinggalkan. Paling tidak dikurangi. Sebaliknya, model pembelajaran yang memberikan peluang yang lebih luas kepada peserta didik untuk terlibat aktif dalam mengonstruksi pengetahuan dan pemahamannya dalam proses ”pemanusiaannya” mutlak ditumbuhkembangkan.Untuk mendorong agar terciptanya model pendidikan yang demokratis—meminjam gagasan Paul Suparno, dkk (Reformasi Pendidikan Sebuah Rekomendasi)—ada beberapa hal yang mesti dilakukan. Pertama, hindari indoktrinasi. Biarkan siswa aktif dalam berbuat, bertanya, bersikap kritis terhadap apa yang dipelajarinya, dan mengungkapkan alternatif pandangannya yang berbeda dengan gurunya.
Kedua, hindari paham bahwa hanya ada satu nilai saja yang benar. Guru tidak berpandangan bahwa apa yang disampaikannya adalah yang paling benar. Seharusnya yang dikembangkan adalah memberi ruang yang cukup lapang akan hadirnya gagasan alternatif dan kreatif terhadap penyelesaian suatu persoalan.Ketiga, beri anak kebebasan untuk berbicara. Siswa mesti dibiasakan untuk berbicara. Siswa berbicara dalam konteks penyampaian gagasan serta proses membangun dan meneguhkan sebuah pengertian harus diberi ruang yang seluas-luasnya.
Keempat, berilah ”peluang” bahwa siswa boleh berbuat salah. Kesalahan merupakan bagian penting dalam pemahaman. Guru dan siswa menelusuri bersama di mana telah terjadi kesalahan dan membantu meletakkannya dalam kerangka yang benar.
Kelima, kembangkan cara berpikir ilmiah dan berpikir kritis. Dengan ini siswa diarahkan untuk tidak selalu mengiyakan apa yang dia terima, melainkan dapat memahami sebuah pengertian dan memahami mengapa harus demikian.Keenam, berilah kesempatan yang luas kepada siswa untuk bermimpi dan berfantasi (gagasan Paulo Freire). Kesempatan bermimpi dan berfantasi bagi siswa menjadikan dirinya memiliki waktu untuk dapat berandai-andai tentang sesuatu yang menjadi keinginannya. Dengan cara demikian, siswa dapat berandai-andai mengenai berbagai kemungkinan cara dan peluang untuk mencari inspirasi serta untuk mewujudkan rasa ingin tahunya. Hal demikian pada gilirannya menanti dan menantang siswa untuk menelusuri dan mewujudkannya dalam aktivitas yang sesungguhnya.Penulis berpendapat, bila hal demikian ini telah menjadi kebiasaan, bahkan menjadi bagian integral dalam proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah-sekolah kita, siswa telah diantarkan dan difasilitasi untuk mengetahui bagaimana belajar cara belajar (yang benar). Relasi monolog-otoriter telah diganti dengan model pembelajaran yang demokratis-partisipatif-dialogis, yang mengedepankan kolaborasi dan kooperasi antara siswa dan guru. Dengan demikian, mereka akan menjadi berdaya dan akan menjadi manusia-manusia pembelajar sepanjang hidupnya. Dan, di sanalah proses ”humanisasi” itu terjadi.Y PRIYONO PASTI Direktur SMA Santo Fransiskus Asisi, Pontianak

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda