Hikmah Surga

Hikmah surga ini berisi sekilas tentang beberapa artikel ilmiah pribadi sebaagai wujud pengembangan diri dan aktualisasi diri pada bidang pendidikan

Minggu, 15 Juni 2008

Imam Abu Dawud

Imam Abu Dawud

Dalam literatur ilmu hadits, ada dua orang yang kondang disebut Abu Dawud. Pertama, Abu Dawud al Sijistani (wafat 275 H) dan kedua, Abu Dawud al Thayalisi (wafat 305 H). Abu Dawud al Sijistani terkenal dengan kitabnya Al Sunan sedangkan Abu Dawud Thayalisi terkenal dengan kitabnya Al Musnad. Tokoh kita kali ini adalah Imam Abu Dawud Al Sijistani, yang secara lengkap bernama Abu Dawud Sulaiman bin al `Asy'ats bin Ishaq bin Bisyr bin Syadad bin `Amr al `Azdi al Sijistani. Beliau lahir pada tahun 202 H bertepatan dengan 817 M di Sijistan, daerah yang terletak diantara Iran dan Afganistan. Kata yang selalu melekat pada nama beliau merupakan nisbah kepada daerah Sijistan, tempat kelahiran beliau.
Sejak usia dini, Imam Abu Dawud sudah tekun mempelajari dan menelaah berbagai disiplin ilmu keislaman. Beliau melakukan pengembaraan ilmiah ke berbagai wilayah Islam untuk menyerap pengetahuan keislaman sebanyak-banyaknya. Daerah-daerah yang pernah dikunjungi beliau antara lain; Hijaz, Jazirah Arab, Khurasan, Iraq, Syam, Mesir, dan lain-lain.
Pengembaraan itu merupakan bukti perhatian beliau terhadap ilmu-ilmu keislaman demikian besar. Bahkan beliau pernah mengunjungi kota Baghdad beberapa kali sembari mengajarkan hadits dan fiqh kepada masyarakat setempat.
Pengembaraan itu pada gilirannya sangat berperan bagi perkembangan intelektualitas beliau dalam menggali pengetahuan secara luas dan mendalam, terutama dalam disiplin ilmu hadits. Selama pengembaraannya, beliau banyak menyerap hadits, dari berbagai ulama kenamaan untuk selanjutnya dikumpulkan dalam sebuah kitab yang terkenal dengan sebutan Sunan Abi Dawud. Karya besar inilah yang mengantarkan beliau menjadi seorang ulama hadits berkaliber dunia.
Setelah melakukan pengembaraan intelektual cukup lama, akhirnya beliau menetap di Bashrah atas permintaan gubenur setempat yang menghendaki kota Bashrah menjadi “kiblat” bagi para pecinta dan peminat ilmu-ilmu keislaman, terutama hadits.
Guru dan Murid Abu Dawud
Selama masa pengembaraan intelektualnya, beliau tercatat banyak berguru kepada para ulama kenamaan, antara lain: Ahmad bin Hambal (Imam Mazhab Hambali), al-Qa'nabi, Abu `Amr al-Dharir, Abdullah bin Raja, Muslim bin Ibrahim, Abu al-Walid al Thayalisi, Usman bin Syaibah, Sulaiman bin Harb, dll.
Sebagai figur yang diakui kezuhudannya dan kedalamam pengetahuannya dalam berbagai disiplin ilmu keislaman, terutama bidang hadits, beliau senantiasa menjadi tujuan dan sasaran para pecinta ilmu. Banyak ulama kenamaan yang turut “nyantri” di pesantren Imam Abu Dawud. Mereka antara lain: Abu Isa al-Tirmidzi (penyusun kitab Sunan al-Tirmidzi), Abu Abd al Rahman an-Nasa'i, Abu Bakr bin Abi Dawud (putra beliau), Abu `Awanah, Abu Salim Muhammad bin Said al-Jaldawi, Ahmad bin Muhammad bin Harun, Ali Abd al-Shamad, Abu Said al-'Arabi, Abu `Ali al-Lu'lu'i, Abu Bakar bin Dassah, dll.
Karya Monumental
Selain kitab Sunan yang secara spesifik menampilkan hadits-hadits Nabi saw, beliau juga mempunyai beberapa karya ilmiah yang lain, misalnya: al-Marasil, al-Qadar, al-Nasikh wa al-Mansukh, Fadha'il al-A'mal, as-Zuhd, Dalail al-Nubuwwah, Ibtida' al-Wahy, dan Akhbar al-Khawarij.
Tetapi karyanya yang paling memumental adalah Sunan Abi Dawud. Kitab ini tercatat sebagai salah satu dari al-Kutub al-Sittah, enam kitab hadits yang diakui eksistensinya sebagai rujukan agama Islam. Dan kitab inilah yang menjadikannya sebagai pakar hadits papan atas.
Karya besar ini memuat 4.800 buah hadits yang beliau seleksi dengan sangat ketat dari 500.000 buah hadits yang didapatkan selama masa pengembaraannya. Namun demikian, ada sementara ulama yang mengatakan karya besar ini memuat 5.247 buah hadits. Perbedaan ini terjadi karena mereka menghitung hadits yang diulang sebagai dua hadits atau lebih. Sementara ulama yang lain menghitungnya sebagai satu hadits.
Dalam kitabnya al-Sunan, beliau banyak membuat istilah-istilah yang tidak digunakan oleh ulama lain. Ada juga hadits-hadits yang dijelaskan kualitasnya, namun ada juga hadits-hadits yang tidak dijelaskan sama sekali kualitasnya. Kenyataan ini mengundang warga Makkah untuk bertanya. Maka kemudian beliau menullis surat untuk warga Makkah, menerangkan istilah-istilah itu.
Surat Abu Dawud ini belakangan ditemukan Dr. Muhammad al-Ahabbagh dalam bentuk manuskrip (tulisan tangan), kemudian beliau edit dan selanjutnya diterbitkan oleh penerbit al-Maktab al-Islami di Beirut dengan judul Risalah Abu Dawud ila Makkah fi Washf Sunanih. Surat ini, yang dalam manuskrip hanya terdiri dari empat halaman saja, sarat dengan muatan ilmiah. Sebab tanpa surat ini, tampaknya sulit untuk memahami kitab Sunan Abi Dawud.
Beliau antara lain mengatakan, “Saya tidak mencantumkan sebuah hadits pun di mana kebanyakan ulama telah sepakat untuk tidak memakai hadits itu. Setiap hadits, selalu saya jelaskan kualitasnya, baik yang shahih, semi shahih (yusbihuhu), dan yang mendekati shahih (yuqaribuhu). Jika dalam kitab saya terdapat hadits yang wahnun syadidun (sangat lemah), sayapun menjelaskannya,” demikian ungkapan beliau dalam surat itu. Dalam rangka menjelaskan status hadits yang beliau nilai shahih, beliau mempunyai penilaian khusus, yakni beliau tidak memberikan komentar sedikitpun terhadapnya. Beliau pernah menuturkan, “Hadits yang tidak aku komentari, maka nilainya shahih”. Shahih adalah istilah Abu Dawud untuk menunjuk hadits shahih.
Di sini jelas, beliau senantiasa menuliskan dan menjelaskan kualitas masing-masing hadits (walaupun terkadang beliau menjelaskan secara tidak langsung), sehingga tidak akan muncul keraguan tentang kualitas masing-masing hadits. Dan ini akan memudahkan orang awam dalam memahami status hadits yang tertera dalam karya besar ini. Begitu integritasnya, sampai hadits yang sangat lemah pun dijelaskan kelemahannya dengan sangat gamblang. Artinya, beliau tidak mempunyai kepentingan pribadi sedikit pun, semua demi kepentingan nilai sebuah hadits.
Kiranya perlu diketahui, kitab Jami', Musnad, dan sebagainya, di samping berisi hadits-hadits hukum, juga memuat hadits-hadits yang berkenaan dengan amal-amal yang terpuji (fadhail al-a'mal), kisah-kisah, nasihat-nasihat, adab dan tafsir. Metode demikian terus berlangsung hingga datang Imam Abu Dawud dengan karya besarnya itu. Dalam menyusun kitabnya, beliau memutuskan untuk hanya memuat hadits-hadits hukum. Metode ini dikenal dalam ilmu hadits dengan metode sunan.
Dalam kitab Sunannya, Abu Dawud —sebagaimana tersirat dari penuturannya— tidak semata mencantumkan hadits-hadits shahih sebagaimana Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, namun beliau juga memasukkan hadits semi shahih (versi Abu Dawud) atau hasan (versi al-Tirmidzi) dan hadits dha'if yang tidak parah kedha'ifannya. Imam Abu Dawud membagi kitab Sunannya menjadi beberapa bagian, yang disebut kitab. Tiap-tiap kitab dibagi dalam beberapa bab. Jumlah kitabnya sebanyak 35, dan ada tiga kitab yang tidak dibagi ke dalam bab. Sementara jumlah keseluruhan babnya mencapai 1.871 buah.
Komentar Ulama
Sebagai “pengibar panji-panji Islam” dan seorang hafidh (ahli hadits), banyak komentar yang di alamatkan kepadanya, di samping kepada karya besarnya itu. Komentar (pujian) datang antara lain dari Imam Ahmad bin Hambal (guru beliau) yang memandang karyanya sebagai kitab yang indah dan baik. Selain Imam Ibnu Hambal, al-Hafidh Musa bin Harun pernah menuturkan, “Abu Dawud diciptakan di dunia hanya untuk hadits dan di akherat untuk surga. Aku tidak melihat orang yang lebih utama dari beliau.” “Hadits telah dimudahkan bagi Abu Dawud, sebagaimana besi dilunakkan bagi Nabi Dawud,” demikian komentar Ibrahim Harbi.
Imam Ibn al-Qayyim mengatakan bahwa dalam kitab ini (Sunan Abi Dawud) terhimpun kandungan hadits-hadits hukum dan Abu Dawud menyusunnya dengan susunan yang bagus, serta memilih dengan pilihan yang bagus. Al-Hafidh Abu Sulaiman al-Khattabi dalam muqaddimah kitabnya, Ma'alim al-Sunan, bertutur, “Ketahuilah, semoga Allah mengasihi kalian, bahwa kitab al-Sunan karya Abu Dawud adalah sebuah kitab agung yang belum pernah ada sebuah kitab pun tentang ilmu agama yang setara dengannya. Semua orang menerimanya dengan baik. Oleh karena itu ia menjadi “hakim” antara ulama dan para ahli fiqh yang berlainan mazhab. Masing-masing mempunyai mata air sendiri, namun dari al-Sunan itulah mereka minum. Dan kitab itu pula yang menjadi pegangan ulama Iraq, Mesir, Maroko, dan negeri-negeri lain”.
Ibnu al-Arabi salah seorang rawi kitab Sunan berkata, “Apabila seorang sudah mempunyai kitabullah (al-Qur'an) dan kitab Sunan, maka ia tidak memerlukan lagi kitab-kitab yang lain”. Hujjah al-Islam Imam Abu Hamid al-Ghazali juga pernah mengatakan, “Kitab Sunan sudah cukup bagi para mujtahid untuk mengetahui hadits-hadits ahkam”.
Di samping banyak ulama yang memuji kitab beliau itu, ada juga ulama yang mengkritik sebagian hadits yang tercantum di dalamnya. Kritikan ini, misalnya, pernah dilontarkan oleh Imam Ibn al-Jauzy. Ia memandang di dalam kitab tersebut terdapat 9 buah hadits yang berstatus maudhu' (palsu). Namun demikian, kritikan ini telah disanggah oleh Imam Jalal al-Din al-Suyuti, ulama Mesir abad 9 hijriah.
Mazhab Imam Abu Dawud
Imam Abu Dawud merupakan sosok yang tidak memihak pada salah satu mazhab fiqh. Beliau sosok netral, hanya berpegang pada al-Qur'an dan hadits saja. Walaupun ada sementara ulama yang menggolongkan ke dalam mazhab fiqh Hambali, sebagaimana yang disinyalir oleh Syaikh Abu Ishaq al-Syirasi dalam kitabnya, Thabaqat al-Fuqaha'. Demikian pula, Qadhi' Abu al-Husain Muhammad bin al-Qadhi' Abu Ya'la (w. 526 H) dalam kitabnya, Thabaqat al-Hanabilah, memasukkan beliau ke dalam komunitas pengikut mazhab Hambali. Pandangan seperti ini dapat dipahami karena walau bagaimanapun, Imam Abu Dawud memiliki keterikatan emosional dengan Imam Ahmad bin Hambal, sebagai murid dan guru. Bahkan dikatakan, beliau merupakan murid Imam Ibn Hambal yang paling istimewa. Ada juga sementara ulama yang beranggapan bahwa beliau berafiliasi kepada mazhab Imam Syafi'i.
Pandangan-pandangan di atas, tampaknya tidak didukung oleh bukti-buikti sejarah secara konkrit, sehingga tingkat validitasnya masih diliputi tanda tanya besar. Imam Muhammad Abu Syahbah dalam karyanya, Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Shihab al-Sittah memandang Imam Abu Dawud merupakan sosok mujtahid yang tidak terikat oleh salah satu mazhab fiqh. Beliau hanya berijtihad berdasarkan al-Qur'an dan hadits-hadits. Dan kemampuan ijtihad merupakan salah satu ciri khas yang melekat pada imam-imam hadits. Jadi, beliau bermazhab Ahl al-hadits.
Kitab Syarah Sunan
Kitab Sunan telah banyak disyarahi (diperluas bahasannya) oleh para ulama, antara lain: Ma'alim al-Sunan yang ditulis oleh Imam Abu Sulaiman Ahmad bin Ibrahim bin Khattab al-Busti al-Khattabi (w. 388 H). Syarah ini mengupas masalah kebahasaan, penelitian riwayat, dan penggalian hukum-hukum dan adab secara sederahana.
`Aun al-Ma'bud `ala Sunan yang ditulis oleh Syaikh Syaraf al-Haq yang terkenal dengan sebutan Muhammad Asraf bin Ali Haidar ash Shiddiqi al-”Adzimabadi (wafat pada abad 14 H). Syarah ini hanya membahas seputar kata-kata asing (gharib) dan ungkapan-ungkapan redaksi yang sukar dimengerti.
Al-Manhal al-Azb al-Maurud Syarh Sunan yang ditulis oleh Syaikh Mahmud bin Muhammad bin Khattab al-Subki. Kitab syarah ini merupakan syarah yang luas pembahasannya. Di dalamnya, al-Subki mengupas nama-nama perawi hadits, menjelaskan lafadh-lafadh dan menerangkan maknanya, serta mengungkapkan hukum-hukum dan adab yang digali dari hadits-hadits tersebut. Ia juga menerangkan status hadits per hadits yang termuat di dalam Sunan. Namun Sayang, sebelum sempat merampungkan “proyek raksasa” nya ini, ia telah wafat lebih dahulu pada bulan Rabi'ul Awal 1352 H.
Abu Dawud menghembuskan nafas terakhir pada 16 Syawwal 275 H/889 M di Bashrah sekaligus dikebumikan di sana, di samping makam Imam Sufyan al-Tsauri. Inna lillahi wa inna nilaihi raji'un. Semoga Allah swt menerima segala jerih payah beliau dalam menyebarkan ilmu-ilmu keislaman.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda